Setelah berakhirnya perang dunia ke 2, Belanda kembali ke Hindia Belanda dengan tujuan kembali menguasai wilayah ini. Operasi agresi itu dikenal sebagai Operation Product, sekalipun mendapat berbagai wilayah baru, secara keseluruhan agresi ini dinilai gagal dalam mencapai tujuannya. Selain itu agresi ini juga membuat nama Belanda di kalangan internasional semakin memburuk.
Kalangan internasional mulai melihat Belanda sebagai pihak yang melanggar perjanjian Linggajati. Lebih parahnya lagi, sekutu dekat Belanda dalam perang dunia ke 2 yaitu Australia bahkan mulai menentang aksi dari Belanda. Bersama dengan India, mereka berusaha memaksa agar Belanda dapat mencapai suatu kesepakatan damai dengan kaum Republik. Hal tersebut dilanjutkan dengan mambawa masalah ini ke forum internasional PBB.
Dewan keamanan PBB kemudian merespons dengan membentuk komisi tiga negara yang beranggotakan Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia dan Amerika yang dipilih oleh Belgia dan Australia. Terdesak oleh tekanan internasional, Belanda dan Indonesia akhirnya mengumumkan gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus 1947.
Kemenangan Indonesia Atas Belanda dalam Agresi Militer Operation Product
Dengan berakhirnya operasi ini, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah baru seperti Jawa Barat dan Madura. Sekalipun demikian, secara keseluruhan, agresi ini gagal dalam menghancurkan pasukan republik dan menghilangkan kedaulatan Indonesia. Hal ini membuat Jenderal Spoor, pemimpin tertinggi militer Belanda di Hindia langsung disemprot oleh atasannya yaitu Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook yang menyebutnya gagal.
Sejak awal Van Mook ingin agar militer Belanda lebih berhati-hati dan jangan terlalu agresif dalam bertindak. Ia tidak ingin merusak citra Belanda di kalangan internasional, maupun merusak kepercayaan dari kaum loyalis atau kaum pro Belanda di Indonesia. Van Mook adalah seorang Belanda yang lahir di Hindia, ia mendukung agar Hindia dapat menjadi negara persemakmur Belanda. Oleh karenanya ia sangat berharap agar masyarakat Hindia dapat dibujuk dan mau bekerja sama dengan Belanda.
Sedangkan Spoor berpendapat lain, sebagai seorang yang memiliki latar belakang militer, ia merasa permasalahan ini terjadi karena rivalnya yaitu para pemimpin republik memiliki kekuatan militer. Oleh karenanya, pemerintah belanda harus lebih agresif agar pasukan republik tidak memiliki waktu untuk memulihkan diri dan dapat segera dihancurkan.
Spoor sering mempertanyakan keseriusan Belanda, khususnya mengenai kuantitas dan kualitas pasukan yang dimilikinya. Jumlahnya yang terlalu sedikit membuat Spoor harus membagi pasukannya untuk berbagai kebutuhan seperti mempertahankan wilayah, mengamankan wilayah baru dan lain sebagainya. Selain itu tidak jarang Spoor menerima berbagai laporan dari pasukannya yang menyatakan bahwa mereka sudah sangat merindukan negeri Belanda dan memikirkan nasib keluarga mereka.
Sebagai komandan yang pernah bertugas di Hindia, Spoor tentu tau berapa besar pengorbanan pasukannya demi menjaga koloni Belanda yang paling berharga. Namun dengan mengizinkan mereka pulang, bagaimana Spoor harus bersikap dengan pasukan lainnya?, dan bagaimana ia dapat melanjutkan peperangan di Hindia tanpa pasukannya.
Konflik seperti itu tidak hanya terjadi di kubu Belanda, melainkan juga terjadi di antara para pejuang kemerdekaan Indonesia. Agresi militer Belanda yang tidak mampu dibendung sepenuhnya oleh pihak militer republik membuat berbagai perkotaan dan pusat ekonomi Indonesia semakin berkurang. Berdasarkan penyataan yang ada, pemerintahan republik terpaksa setuju dengan berjanjian Renville yang isinya bahkan lebih berat jika dibandingkan perjanjian sebelumnya.
Perjanjian itu membuat para pemimpin Indonesia semakin sadar bahwa melawan Belanda yang didukung oleh faksi sekutu khususnya secara militer tentu bukanlah keputusan yang baik dan bijaksana. Para pemimpin Indonesia, khususnya Sultan Syahrir sangat menyadari hal ini, ia percaya melawan Belanda dan faksi sekutu sama saja dengan bunuh diri.
Baginya Indonesia harus berhasil mencapai 3 hal ini, pertama harus mampu memisahkan hubungan antara Belanda dan faksi sekutu, kedua memastikan hanya melawan Belanda dan bukan faksi sekutu, terakhir berusaha meraih simpati atau dukungan di kalangan internasional.
Oleh karenanya, dalam perjanjian Linggajati, Syahrir menuliskan sebuah pasal yang isinya berbunyi. Jika dalam pelaksanaan perundingan ini terjadi perselisihan, kedua pihak sepakat untuk membawanya ke tingkat internasional atau PBB. Meski terlihat simple, namun pasal inilah yang membuat Indonesia dapat meraih kemenangannya lewat jalur diplomatis.
Hal ini tidak terlepas dari latar belakang tokoh-tokoh Indonesia seperti Syahrir dan Hatta yang memang pernah tinggal di Belanda. Oleh karenanya, mereka cukup memahami cara berpikir dari orang Belanda dan Eropa. Lalu cara berpikir seperti apa yang mereka pahami?. Dalam sejarah Eropa selelu dipenuhi oleh berbagai konflik dimana negara-negara saling bersaing satu sama lain.
Apakah negara Eropa lainnya dapat mengizinkan, sebuah negara kecil seperi Belanda memiliki koloni yang sangat besar dan kaya, tentu saja tidak bukan?. Itu karena di Eropa ada sebuah konsep yang dikenal dengan nama keseimbangan kekuatan. Maka perjuangan Indonesia secara diplomatis semakin mendapat simpati dan dukungan dari kalangan internasional.